Ini Dia Empat Masalah Papua dan Jawabannya

Persoalan Papua tidak pernah usai sampai saat ini. Kegelisahan akan terpisahnya propinsi yang berada di bagian paling Timur itu dari Indonesia terus menggelanyut. "Namun kita harus lihat, apa sebenarnya arti kemerdekaan yang mereka minta. Apakah merdeka dalam arti bebas secara politik atau bebas dari keterbelakangan yang sampai saat ini mereka alami, " kata Dr. Adriana Elisabeth, peneliti Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang ditemui menjelang peluncuran buku dan diskusi buku Papua Road Map di Hotel Nikko Jakarta, Selasa (30/6).
Menurut Adriana, salah satu penulis Papua Road Map (PRM), persoalan kemerdekaan yang kerap mencuat mesti didudukkan pada konteks menyeluruh persoalan papua. "Dalam penelitian kami, yang dituangkan dalam buku ini (PRM), ada 4 persolan utama yang ada di Papua, " ungkap Adri, sebagaimana ia biasa disapa.
Persoalan pertama, lanjutnya, terkait dengan masyarakat Papua yang masih termarginalisasi dan mengalami diskriminasi. "Orang Papua tuntut kesamaan. Kita belum merekognisi masyarakat Papua secara merata, " papar Adri.
Soal kedua, kegagalan pembangunan. Hal ini terkait dengan Otonomi Khusus (Otsus) yang tidak berhasil karena tidak adanya supervisi atau pendampingan dari pemerintah pusat dan kekurangsiapan pemerintah daerah dan masyarakat Papua. "Otsus hanya dilihat dari dananya yang besar saja, " katanya.
Ketiga, soal kekerasan negara dan pelanggaran HAM. "Sampai saat ini masih menjadi persoalan pelik. Anda sendiri sudah tahu kan, " ungkapnya.
Terakhir, sampai saat ini politik dan sejarah integrasi terus diperdebatkan dan digugat. "Memang secara hukum kita berhak atas wilayah Papua, " paparnya.
Lebih jauh, sebagaimana disampaikan Adri, para peneliti LIPI tidak mau fokus pada persoalan saja tapi juga menawarkan solusi berdasar soal yang ditangkap. "Untuk soal pertama kami menawarkan solusi supaya kita mau mengakui dulu kalau di Papua ada masalah. Setelah itu, kita harus merekognisi masyarakat Papua dan memberdayakan mereka sehingga sama dengan yang lain, " paparnya.
Untuk soal pembangunan, menurut Adri tiap daerah memiliki kebutuhan yang khas satu sama lain, tidak bisa dipukul rata. Saat ini, masyarakat Papua sangat membutuhkan pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi.
Solusi ketiga, pemerintah mesti terus mengupayakan merekonsiliasi dengan masyarakat Papua terkait dengan banyak kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di sana. "Pengadilan HAM sudah dilakukan tapi tidak ditangkap pentolannya dan kompensasinya bagi masyarakat Papua tidak jelas, tidak adil, " tutur Adri.
Terakhir, hal yang mesti diupayakan adalah melalui dialog. Hal ini sudah dilakukan pada tahun 1999 dengan dialog Tim Seratus pada pemerintahan Habibie. Namun, pada waktu itu persiapannya kurang matang sehingga hasilnya tidak jelas dan tidak terjadi kesepakatan.
Untuk itu, para peneliti LIPI merekomendasikan supaya dilakukan dulu pra dialog. Pada tahapan ini, kedua belah pihak mesti kenyepakati dulu isu, mekanisme, siapa saja yang terlibat, dan pembagian yang merata siapa wakil Papua sehingga sungguh mewakili pada dialog. "Kalau terjadi kesepakatan baru diadakan dialog. Mediatornya bisa bebas tergantung dari kesepakatan dua belah pihak, " katanya.
Dengan diterbitkannya buku ini, tambah Adri, berarti LIPI sudah selesai dalam menjalankan mandatnya terkait soal Papua. Tawaran solusi menjadi realisasi ketika dilaksanakan. "Kami berharap, bagaimana nanti menyelesaikan persoalan Papua harus secara damai, bermartabat, tanpa kekerasan dan menyeluruh, " pungkasnya.
Diskusi yang ditulis 5 orang dari LIPI melalui penelitian sejak 2004 ini akan dihadiri Menteri Pertahanan RI Prof. Dr. Juwono Sudarsono yang menggantikan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang berhalangan hadir, Peneliti Utama Kajian Papua LIPI Dr. Muridan S. Widjojo dan 4 penanggap yang terdiri dari Wakil Gubernur Propinsi Papua Alex Hesegem, Anggota Komisi I DPR RI Efendi Choiri, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsudin Haris dan Septer Manafandu dari Foker LSM. Yang akan menjadi moderator adalah Adri.
Kompas (30 Juni 2009)