"Metrologi, Bukan Meteorologi "
"Mulai dari kue basah yang bisa awet seminggu sampai produk colokan listrik yang harus pas dengan soketnya, orang sebenarnya tak pernah lepas dari segala bentuk pengukuran, " kata Dede Irawan, Kepala Divisi Metrologi di Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi LIPI.
Mengabaikan metrologi bahkan bisa sangat fatal. Dunia penerbangan dan kesehatan adalah dua contohnya yang sangat mudah. Apa jadinya ketika altimeter dalam kabin pesawat tidak akurat 10 persen, misalnya. Pesawat yang seharusnya terbang di ketinggian 30 ribu kaki bisa melayang lebih tinggi atau rendah 3.000 kaki. "Ini berbahaya karena selisih ketinggian yang aman itu hanya sampai 500 kaki, " kata Donny Purnomo, Pelaksana Tugas Kepala Bidang Akreditasi Laboratorium Kalibrasi di Badan Standardisasi Nasional.
Dede menjelaskan bahwa kualitas itu memiliki banyak aspek. Satu di antaranya bagaimana sebuah alat sesuai dengan spesifikasinya. "Inilah kenapa perlu pengujian-pengujian, " tuturnya.
Sayang, pemahaman akan pentingnya pengujian-pengujian itu terjadi sangat lamban. Korea Selatan, yang memiliki waktu start yang sama dengan Indonesia dalam membangun akreditasi dan standardisasi nasionalnya pada 1975, kini telah melejit sangat jauh. Malaysia dan Thailand, yang hitungannya lebih telat, pun sudah lebih maju.
"Malaysia sampai saat ini sudah memiliki 200-an jenis alat metrologi yang sudah diakui internasional, sedangkan Indonesia baru 17, " kata Donny.
Bidang ilmu yang satu ini memang sempat dikebelakangkan oleh pemerintah. Hubungan Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi LIPI dengan komunitas metrologi internasional dibuat terputus dengan kebijakannya membiarkan tunggakan iuran tahunan hingga Rp 2,5 miliar sepanjang 1993-2003.
Tunggakan baru dilunasi setelah pemerintah gelagapan karena harus segera mengantisipasi dibukanya pasar bebas ASEAN. Kini, ketika Kantor Akreditasi Nasional "ngebut " untuk bisa mendapatkan akreditasi internasional untuk bidang metrologi dan mengejar target untuk membuat 100 jenis alatnya diakui pada 2009, negara-negara seperti Malaysia dan Singapura sudah bersiap memperebutkan posisi pintu gerbang bagi pasar bebas ASEAN nanti.
Kedua negara itu memang sudah melengkapi kebutuhan standardisasi atas banyak macam produk. Produk-produk yang diekspor dari negara-negara itu boleh jadi tidak lagi diukur ulang di negara tujuan. Begitu pula sebaliknya, produk yang sebenarnya substandar tidak akan bisa lolos dengan mudah ke pasar dalam negerinya.
Tapi di sini, di Indonesia, untuk alat-alat listrik rumah tangga yang jumlahnya bejibun pun baru satu yang sudah distandarkan, yakni kipas angin. "Kita memang terlambat, " Donny mengakui. "Tapi ini lebih baik daripada tidak sama sekali. " wuragil Sumber: Koran Tempo 24 Oktober 2008