Pandemi Virus Flu Burung H5N1

 
 

Wabah virus flu burung H5N1 kembali terjadi di Indonesia. Beberapa kasus, baik dugaan (suspect) maupun yang telah dikonfirmasi (confirmed) telah dilaporkan. Menurut data WHO per 15 Januari 2007, tahun ini di Indonesia telah terjadi 4 kasus dan 3 di antaranya meninggal dunia (www.who.int) .

Dari data yang sama, ditemukan kasus akumulatif di Indonesia, berjumlah 79 dan 61 di antaranya meninggal dunia. Jika dilihat dari jumlah kasus yang meninggal, Indonesia adalah peringkat pertama setelah Vietnam, dengan 42 angka kematian.

Namun, berbeda dengan di Indonesia, sejauh ini tidak ada laporan dari Vietnam dan negara Asia Tenggara lain bahwa sebelumnya virus H5N1 juga mewabah. Bahkan, di Vietnam, yang merupakan negara dengan kasus akumulatif terbanyak (93 kasus dan 42 di antaranya meninggal dunia), sejak 2006 sampai saat ini, belum ada laporan tentang kasus H5N1 pada manusia. Kenapa ini bisa terjadi Mungkin kita harus belajar cara penanggulangan yang dilakukan di Vietnam.

Pandemi Flu Burung

Apakah kembalinya wabah virus flu burung H5N1 di Indonesia merupakan petanda mulainya pandemi Sedikitnya, ada tiga hal yang membuat pandemi flu burung bisa terjadi. Pertama adalah kemampuan virus H5N1 untuk menginfeksi manusia. Virus H5N1 adalah virus flu burung, yang mulanya hanya bisa menginfeksi jenis burung. Virus ini kemudian bermutasi sehingga berubah menjadi virus yang bisa menginfeksi manusia.

Kedua yang menunjang terjadinya pandemi adalah tidak adanya kekebalan manusia terhadap virus H5N1. Karena sebelumnya manusia belum pernah terekspos virus itu, hampir semua manusia tidak memiliki antibodi yang bisa menetralkan virus H5N1 sehingga virus dengan leluasa menginfeksi sel-sel manusia dan merusaknya. Dengan demikian, infeksi virus tersebut akan menimbulkan efek fatal terhadap manusia yang terinfeksi.

Ketiga adalah sifat patogen virus H5N1 yang tinggi. Berdasar data WHO, secara global telah terjadi 267 kasus H5N1 pada manusia dan 161 diantaranya meninggal dunia (www.who.int) . Jika dihitung, tingkat kefatalan/mortalita s dari virus ini adalah 60 persen.

Khusus untuk Indonesia, tingkat kefatalan malah lebih tinggi, yaitu 77 persen (61/79). Angka ini jauh lebih tinggi daripada tingkat kefatalan virus SARS, virus yang kita takuti dan mewabah di berbagai penjuru dunia beberapa tahun lalu dengan tingkat kefatalan sekitar 10 persen.

Faktor lain yang menjadi kunci terjadinya pandemi adalah kemampuan virus untuk menular dari manusia ke manusia. Walaupun sampai saat ini belum terbukti adanya penularan antarmanusia, beberapa kasus menunjukkan indikasi penularan dari manusia ke manusia. Salah satu hasil riset dengan mengambil sampel satu keluarga di Thailand telah membuktikan kemungkinan terjadinya penularan antarmanusia di dalam satu keluarga (Ungchusak et al, 2005).

Riset tersebut menujukkan bahwa ibu dan bibi perawat anak yang terinfeksi H5N1 juga terinfeksi oleh virus H5N1. Sang ibu bahkan sampai meninggal dunia. Dari hasil Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) organ nasopharynx dan throat swab (tenggorokan) sang ibu ditemukan virus H5N1. Baik sang ibu maupun bibi tidak pernah kontak dengan burung.

Bahkan, sang ibu datang dari tempat jauh yang bukan endemi flu burung dan hanya datang untuk merawat anaknya yang menderita infeksi H5N1. Begitu juga di Indonesia, ditengarai ada beberapa kluster H5N1I dalam keluarga.

Karena itu, kita perlu tetap waspada karena untuk bisa menular antarmanusia, virus H5N1 mungkin hanya memerlukan mutasi tunggal pada genomnya. Perlu diakui bahwa dunia belum siap menghadapi pandemi flu burung H5N1. Alasannya bukan hanya karena kekurangan vaksin, tetapi juga sistem pengawasan kesehatan secara keseluruhan.

Pandemi 1918

Para ahli influenza memperingatkan bahwa secara histori, pandemi influenza terjadi setiap 11 sampai 42 tahun. Pandemi influenza terburuk sepanjang sejarah adalah "Spanish Flu " (H1N1) yang terjadi pada 1918-1919. Pandemi yang terakhir adalah "Hongkong Flu " (H3N2) yang terjadi pada 1968-1969.

Pertanyaannya apakah H5N1 akan menjadi pandemi berikutnya Kemampuan virus untuk menular antarmanusia adalah kunci untuk terjadinya pandemi flu H5N1. Berubah karakter supaya bisa menular antarmanusia bisa terjadi dengan dua cara. Pertama, melalui mutasi, seperti yang terjadi pada virus penyebab "Spanish Flu ".

Kedua, melalui rekombinasi (reassortment) antara virus influenza burung dengan influenza manusia, seperti yang terjadi pada kasus "Hongkong Flu " tahun 1968. Analisis menunjukkan bahwa virus H5N1 masih virus flu burung (avian influenza). Banyak ahli yang berpendapat bahwa perubahan genetika yang memfasilitasi penularan antarmanusia tidak terjadi pada H5N1. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa dalam waktu hampir 10 tahun, sejak menginfeksi manusia pada 1997 sampai sekarang, virus H5N1 belum berubah menjadi virus yang bisa menular antarmanusia.

Jika dugaan mereka benar, virus H5N1 terutama patogen terhadap burung dan secara kebetulan menginfeksi manusia yang mempunyai kontak langsung dengan burung yang terinfeksi.

Apakah kita percaya dengan skenario yang optimistis itu Ini adalah hal yang susah diperhitungkan sehingga orang umumnya berpendapat bahwa kita harus siap untuk skenario yang terburuk. Pengalaman pandemi flu pada 1918 bisa dijadikan dasar untuk persiapan pandemi H5N1. Hal itu disebabkan kemiripan kedua virus tersebut.

Galur virus "Spanish Flu " memiliki 3 gelombang dan mengakibatkan kematian sekitar 50 juta jiwa, termasuk 675 ribu jiwa di AS. Satu karakter yang tidak umum pada virus ini adalah tingkat kematian tinggi pada umur 15-35. Kasus influenza di AS umumnya menyerang lansia yang berumur lebih dari 85 tahun.

Fenomena itu mirip dengan infeksi H5N1 pada manusia yang terjadi saat ini. Kebanyakan pasien masih muda atau anak-anak. Analisis genetika menunjukan bahwa baik virus H1N1 yang mewabah pada 1918 maupun virus H5N1 masih memiliki gen virus flu burung (avian influenza), bukan virus flu manusia (human influenza).

Apa yang bisa dilakukan

Di samping intervensi untuk mengurangi jumlah burung yang terinfeksi, ada tiga senjata utama untuk pengontrolan penyebaran virus antarmanusia, yaitu vaksin, obat antivirus, dan isolasi pasien dari komunitas (Bartlett, 2006). Senjata pertama (vaksin) sulit diterapkan karena kita belum siap dengan vaksin H5N1. Hal ini disebabkan produksi vaksin H5N1 saat ini belum bisa memenuhi kebutuhan dunia. Kemampuan produksi vaksin global per tahun adalah sekitar 1 miliar dosis dengan kandungan 15 mikrogram antigen.

Karena itu, kita tidak bisa berharap banyak. Apalagi Indonesia, sebagai negara ketiga, bisa dipastikan tidak akan mendapatkan prioritas untuk memperoleh vaksin. Senjata kedua, berupa obat antivirus, sangat memungkinkan untuk dilakukan. Walaupun membutuhkan dana yang cukup besar, jika ada perhatian dari pemerintah, masih mungkin cara itu dilakukan. Oseltamivir yang merupakan komponen dari Tamiflu terbukti efektif terhadap influenza, termasuk H5N1.

Saat ini, kita telah mengimpor Tamiflu, bahkan perusahaan dalam negri telah mendapatkan izin untuk produksi Tamiflu. Apalagi obat ini dapat disimpan sampai 10 tahun sehingga kita bisa mempersiapkan saat ini untuk persediaan sampai tahun 2017. Strategi yang ketiga adalah isolasi pasien.

Menurut suatu model pandemik 1918, 1/3 dari penularan terjadi dalam keluarga, 1/3 terjadi pada tempat kerja atau sekolah, dan 1/3 terjadi di komunitas umum (Ferguson et al, 2006). Karena itu, jika ditemukan kasus, pemisahan pasien perlu segera dilakukan untuk mencegah penyebaran yang lebih luas.

Penulis : Andi Utama (P2 Bioteknologi LIPI)
Sumber : Jawa Pos

Diakses : 17353