Dugong dan Habitat Lamun Hadapi Ancaman Kepunahan

Bogor, Humas LIPI. Dugong yang juga kerap disebut sebagai Duyung dan habitat Padang Lamun sebagai tempat hidup serta sumber makanannya menghadapi ancaman kepunahan yang cukup serius. Ini ditandai dengan mulai berkurangnya habitat Padang Lamun akibat kerusakan lingkungan.
“Kerusakan Padang Lamun di Indonesia sangat berkontribusi pada ancaman kepunahan Dugong, mengingat pakan utama mamalia laut ini adalah Lamun,” jelas Wawan Kiswara, Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI dalam Simposium Nasional Dugong dan Habitat Lamun di Bogor, Rabu (20/4).
Data dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI menyebutkan hanya sekitar 25.752 Hektar Padang Lamun yang telah tervalidasi dari 29 lokasi di Indonesia. Kondisi Padang Lamun tersebut telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Wawan menjelaskan, sebenarnya Dugong telah terdaftar didalam Global Red List of International Union for Conservation of Nature (IUCN) dalam kategori rentan terhadap kepunahan. “Dugong telah pula dilindungi pemerintah dan dilarang diperdagangkan dalam bentuk apapun sesuai peraturan No. 7 Tahun 1999,” katanya.
Namun, lanjutnya, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa mamalia ini sering mengalami ancaman bahkan kematian karena terjaring nelayan, diikat sebagai peliharaan dan perburuan masif untuk mengambil daging, minyak dan air matanya yang konon mengandung nilai ekonomi yang tinggi.
Ancaman kepunahan Dugong diperburuk juga oleh reproduksi alami yang sangat lambat. Dibutuhkan waktu 10 tahun untuk menjadi dewasa dan 14 bulan untuk melahirkan satu anak Dugong dengan jarak kelahiran 2,5-5 tahun. “Dengan lambatnya reproduksi alami Dugong dan rentannya kondisi habitatnya, pelan tapi pasti populasi hewan ini akan menurun dan kalau tidak diselamatkan tentu akan punah,” tekannya.
Oleh karena itu, Wawan berharap kerjasama pihak terkait terutama antara LIPI, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan World Wildlife Fund (WWF) bisa terjalin dengan baik untuk penyelamatannya. “Para pihak terkait secara bersama bisa mengumpulkan data dan informasi terbaru tentang aspek biologi, kondisi ekologi dan ancaman yang mengintai Dugong,” harapnya.
Hal senada disampaikan juga Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, Agus Dermawan. Ia menyebutkan model konservasi Dugong dan Padang Lamun sangat mendesak untuk segera dibentuk. “Pembentukan ini tentu saja memerlukan sinergi berbagai pihak,” tukasnya.
Agus mengungkapkan, saat ini KKP telah berencana untuk membangun pola konservasi Dugong berbasis manajemen masyarakat lokal. Untuk membangunnya, diperlukan komunikasi dan sosialisasi pada masyarakat lokal di habitat Dugong agar membantu menjaga keberadaan mamalia laut ini di habitatnya.
Konsep ini tentunya tidak mengganggu kehidupan alam Dugong. Hewan-hewan tersebut hanya perlu dibuat nyaman di habitatnya agar wisatawan bisa menyelam dan berinteraksi langsung dengan Dugong. “Harapannya agar Dugong dan habitat Lamun dapat diselamatkan dari kepunahan dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang Dugong dan keindahan biota laut Indonesia,” pungkasnya. (lyr/ed: pwd)
Sumber foto: pixabay.com
“Kerusakan Padang Lamun di Indonesia sangat berkontribusi pada ancaman kepunahan Dugong, mengingat pakan utama mamalia laut ini adalah Lamun,” jelas Wawan Kiswara, Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI dalam Simposium Nasional Dugong dan Habitat Lamun di Bogor, Rabu (20/4).
Data dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI menyebutkan hanya sekitar 25.752 Hektar Padang Lamun yang telah tervalidasi dari 29 lokasi di Indonesia. Kondisi Padang Lamun tersebut telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Wawan menjelaskan, sebenarnya Dugong telah terdaftar didalam Global Red List of International Union for Conservation of Nature (IUCN) dalam kategori rentan terhadap kepunahan. “Dugong telah pula dilindungi pemerintah dan dilarang diperdagangkan dalam bentuk apapun sesuai peraturan No. 7 Tahun 1999,” katanya.
Namun, lanjutnya, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa mamalia ini sering mengalami ancaman bahkan kematian karena terjaring nelayan, diikat sebagai peliharaan dan perburuan masif untuk mengambil daging, minyak dan air matanya yang konon mengandung nilai ekonomi yang tinggi.
Ancaman kepunahan Dugong diperburuk juga oleh reproduksi alami yang sangat lambat. Dibutuhkan waktu 10 tahun untuk menjadi dewasa dan 14 bulan untuk melahirkan satu anak Dugong dengan jarak kelahiran 2,5-5 tahun. “Dengan lambatnya reproduksi alami Dugong dan rentannya kondisi habitatnya, pelan tapi pasti populasi hewan ini akan menurun dan kalau tidak diselamatkan tentu akan punah,” tekannya.
Oleh karena itu, Wawan berharap kerjasama pihak terkait terutama antara LIPI, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan World Wildlife Fund (WWF) bisa terjalin dengan baik untuk penyelamatannya. “Para pihak terkait secara bersama bisa mengumpulkan data dan informasi terbaru tentang aspek biologi, kondisi ekologi dan ancaman yang mengintai Dugong,” harapnya.
Hal senada disampaikan juga Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, Agus Dermawan. Ia menyebutkan model konservasi Dugong dan Padang Lamun sangat mendesak untuk segera dibentuk. “Pembentukan ini tentu saja memerlukan sinergi berbagai pihak,” tukasnya.
Agus mengungkapkan, saat ini KKP telah berencana untuk membangun pola konservasi Dugong berbasis manajemen masyarakat lokal. Untuk membangunnya, diperlukan komunikasi dan sosialisasi pada masyarakat lokal di habitat Dugong agar membantu menjaga keberadaan mamalia laut ini di habitatnya.
Konsep ini tentunya tidak mengganggu kehidupan alam Dugong. Hewan-hewan tersebut hanya perlu dibuat nyaman di habitatnya agar wisatawan bisa menyelam dan berinteraksi langsung dengan Dugong. “Harapannya agar Dugong dan habitat Lamun dapat diselamatkan dari kepunahan dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang Dugong dan keindahan biota laut Indonesia,” pungkasnya. (lyr/ed: pwd)
Sumber foto: pixabay.com
Sumber : Biro Kerja sama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat
Sivitas Terkait : Drs. Wawan Kiswara