Empat Peneliti Dikukuhkan sebagai Profesor Riset

 
 
Empat peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) akan dikukuhkan sebagai Profesor Riset pada Rabu (1/9). Terdapat empat kandidat yang akan dilantik, yaitu Yantyati Widyastuti (Bidang Bioteknologi Hewan), Haryadi Permana (Bidang Geologi), Sri Yudawati Cahyarini (Bidang Geologi), dan Sri Rahayu (Bidang Botani). Profesor Riset yang akan dilantik tersebut adalah Profesor Riset ke-155, 156, 157, dan 158 secara berurutan di lingkungan LIPI. Kegiatan Orasi Pengukuhan Profesor Riset tersebut akan digelar secara virtual live streaming di kanal YouTube LIPI melalui tautan https://s.id/LiveOrasiSept2021 atau Zoom webinar melalui tautan https://s.id/ZoomOrasiSept2021 (Meeting ID: 922 2170 6621 Passcode: 983538) mulai pukul 09.00 WIB hingga 12.00 WIB.

Jakarta, 1 September 2021. Pada naskah orasi Profesor Riset Yantyanti yang berjudul "Inovasi Produk Pangan Sapi Potong Berbasis Bakteri Asam Laktat untuk Mendukung Usaha Peternakan Nasional,” ia menjelaskan bahwa konsumsi daging masyarakat Indonesia meningkat seiring meningkatnya pendapatan masyarakat. Ini berarti, terjadi pula peningkatan pengembangbiakan hewan ternak. Di sisi lain, ternak ruminansia (hewan pemamah biak), salah satunya sapi potong, menyumbang emisi gas rumah kaca berupa gas metana yang dikeluarkan melalui sendawa, hasil dari proses alami fermentasi pakan ternak.

Yantyati menjelaskan bahwa gas metana tersebut myantyarupakan pemborosan energi yang menganggu lingkungan, juga merugikan ruminansia itu sendiri. strategi global pada pemberian pakan telah diupayakan  juga  untuk  dapat  menurunkan  produksi  gas  metana.  Salah  satu pendekatan  yang  telah  dilakukan  adalah menggunakan bakteri asam laktat yang memproduksi asam laktat dan berperan pada fermentasi pakan, serta memengaruhi keseimbangan mikroorganisme pada saluran pencernaan. "Dengan konsep yang serupa, yaitu dengan pengaruh probiotik pada kesehatan manusia  maka  bakteri  asam  laktat  juga  dapat  menyehatkan  ternak. Peran bakteri asam laktat untuk menurunkan produksi gas metana merupakan konsep global inovasi," jelas Yantyati.

Haryadi Permana dalam naskah orasi Profesor Riset berjudul "Pemanfaatan Hasil Riset Kepingan Kerak Samudra Purba dalam Perspektif Dinamika Kerak Bumi Aktual" menjelaskan bahwa kepingan kerak samudra purba terbentuk dalam lingkungan tektonik yang beragam dengan rentang waktu umur kerak samudra mulai  dari  Zaman  Mesosoik,  Masa  Jura  (190–155  juta tahun lalu (Jtl.)),  Masa  Kapur (145–62 Jtl.), Sub-Masa Paleogen, yaitu pada Kala Eosen (55–33 Jtl.), Kala Oligosen (27 Jtl.), sampai paling muda, yaitu Kala Miosen (20–9 Jtl). Kepingan kerak samudra, umumnya disebut ofiolit (ophiolite), merupakan bagian dari litosfer bumi yang permukaanya berada di cekungan samudra dan utamanya terbentuk karena Punggungan Tengah Samudra (PTS).

Dalam perspektif dinamika kerak bumi aktual, pemahaman dan  pengetahuan  dasar  kerak  bumi  dapat  dijadikan  sebagai  bahan  dalam  upaya  mitigasi  bencana. Sumber daya kerak samudra seperti sumber daya gunung api bawah laut serta unsur dan mineral ekonomis di dalamnya juga dapat dimanfaatkan. Kepingan-kepingan  kerak  samudra  diketahui  telah menjadi sumber daya logam dasar seperti nikel, krom, mangan, besi atau seng, unsur tanah jarang, terutama scandium (Sc) dan unsur dari kelompok platinum. "Pergerakan  kerak  samudra  masih  berlangsung  sampai  saat  ini.  Pertemuan  antarlempeng  membentuk  jalur  gempa  bumi  dan  jalur  gunung-gunung  api  aktif. Hal ini digunakan sebagai identifikasi potensi bencana tsunami di suatu daerah," ujar Haryadi.

Pada orasi naskah Profesor Risetnya yang berjudul "Kontribusi Penelitian Iklim Masa Lampau dalam Memahami Perubahan Iklim,” Sri Yudawati Cahyarini menjelaskan bahwa studi iklim masa lampau (paleoclimate) mampu menyediakan data iklim dari masa kini sampai masa lampau, di mana tidak tersedia data pengukuran. Data paleoclimate ini dapat digunakan untuk verifikasi data model prediksi iklim supaya lebih akurat sehingga dapat mendukung kegiatan adaptasi dan mitigasi bencana iklim lebih baik.

Studi tersebut dilakukan dengan menggunakan arsip karang Scleractinia atau disebut juga karang batu dari genus Porites. Karang Porites merupakan salah satu “alat” yang dapat digunakan untuk menyajikan situasi iklim masa lampau sampai resolusi bulanan. Kandungan geokimia karang Porites mampu merekam variabilitas parameter iklim seperti suhu permukaan laut, salinitas, dan presipitasi. "Dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tersebut, diperlukan juga pemahaman mengenai variabilitas iklimnya itu sendiri dari masa lampau, masa kini dan bagaimana prediksinya di masa mendatang. Mengingat dampak perubahan iklim yang berpotensi merugikan berbagai sektor dalam berbagai kehidupan manusia, maka perlu kerja sama penelitian para peneliti  pada area iklim masa lampau, masa kini, dan permodelan iklim, serta disiplin ilmu lainnya."

Sri Rahayu, dalam naskah orasi Profesor Risetnya yang berjudul "Konservasi Biodiversitas dan Pemanfaatan Berkelanjutan Hoya di Indonesia" menjelaskan bahwa sebagai tumbuhan tropis, banyak jenis Hoya yang tumbuh di Indonesia dan sudah sejak lama dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional di Indonesia. Tanaman ini berkemampuan tinggi dalam menyerap polutan pada ruangan. Saat ini Hoya lebih banyak dijadikan tanaman hias dengan nilai ekonomi cukup tinggi.

Hoya  adalah  tumbuhan epifit yang keberadaannya di alam sangat bergantung terhadap keberadaan pohon yang ditumpangi. Sementara itu, keberadaan  populasi  di  alam semakin  terancam  dengan  semakin  berkurangnya habitat. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai aturan perdagangan tumbuhan hidup, baik untuk pasar di dalam maupun di luar negeri, juga sangat minim sehingga terjadi penjualan yang tidak sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku  di  Indonesia.  "Hal  ini  dapat  menyebabkan  keuntungan  ekonomi tertinggi diperoleh pihak luar negeri yang melakukan sistem  budidaya  dan  inovasi  produk  yang  lebih  baik.  Sementara itu, perkembangan iptek terkait pemanfaatan berkelanjutan Hoya  belum  dapat  didiseminasikan  dengan  baik.  Oleh  karena  itu, perlu dirumuskan suatu strategi konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan Hoya Indonesia," runtutnya.

 


Sivitas Terkait : Dr. Yantyati Widyastuti
Diakses : 6981    Dibagikan :